Cerita Bersambung: Jaya Kusuma Anak Arsitek
Bagian 1: Lantai Tiga, Panasnya Bukan Main
Jam delapan pagi di Surabaya, matahari bukan sekadar nongol. Dia nyala terang-terangan kayak lampu sorot konser, langsung nyambit wajah siapa pun yang berani keluar rumah tanpa niat kuat dan semangat nasionalisme. Bagi Jaya Kusuma, pemuda kelahiran Sidoarjo yang baru pertama kali nginjekkan kaki di kampus Teknik Arsitektur Universitas Nusantara Surabaya, itu adalah kombinasi antara euforia dan dehidrasi dini.
Dengan ransel gede berisi alat gambar, sketchbook A3, dan satu termos minum isi es teh buatan ibunya, Jaya melangkah masuk lewat gerbang kampus. Kaos putih, celana jeans yang udah agak belel, dan sepatu sneakers murah tapi bersih—penampilannya mirip mahasiswa baru pada umumnya: belum kena tugas, belum kena revisi, dan masih punya harapan hidup.
“Wah, kampus Teknik Arsitektur, men. Akhirnya!” gumamnya sambil celingukan, nyari papan penunjuk arah.
Sambil ngos-ngosan narik koper gambar dan alat tulis yang beratnya saingan galon Aqua isi penuh, Jaya nyamperin satpam yang lagi duduk santai di pos depan.
“Pak, mau tanya… kelas Arsitektur di mana ya?”
Satpam itu nengok sebentar, senyum, lalu jawab sambil nunjuk ke arah gedung utama.
“Lantai tiga, Mas. Naik tangga ke gedung C, belok kiri, terus aja. Kelasnya deket toilet cowok. Gampang kok. Tapi tangganya agak licin, soalnya semalem disapu sama anak cleaning service yang niat banget.”
Jaya angguk, ngucap makasih, lalu lanjut jalan.
Tangga ke lantai tiga itu bukan main. Udah tinggi, sempit, panas pula. Ventilasi udara cuma ngandelin angin dari luar yang... ya, jelas nggak niat masuk. Tiap dua langkah, Jaya berhenti sebentar, pura-pura ngelap keringat padahal aslinya ngumpulin napas.
“Kenapa aku gak kuliah desain grafis aja sih, bisa duduk anteng di ruang ber-AC,” gerutunya sambil ngos-ngosan. “Tapi ya... nggak bisa. Cita-citaku harus jadi arsitek, kayak almarhum Pakde Sukir. Bangunannya melegenda, meskipun orangnya gak sempat viral.”
Sampai di lantai tiga, hawa panas langsung nyambut kayak sambutan ospek versi alam. Udara di situ kayak semangkuk mie instan yang kelamaan dibiarkan di atas kompor: lengket, beruap, dan aromanya gak jelas.
Di depan kelas A-302, udah ada sekitar 25-an mahasiswa baru. Beberapa berdiri sambil ngobrol, sisanya duduk rapi. Ada yang mukanya nyantai, ada juga yang tampangnya kayak mau wawancara kerja. Jaya celingukan, lalu milih duduk di bangku belakang, deket jendela yang ngadep ke arah parkiran. Spot paling aman buat ngelihatin langit dan mikir hidup kalau dosennya mulai ngelantur.
Belum lima menit duduk, ada cowok gondrong pake hoodie item padahal suhu ruangan kayak dalam oven. Dia nyelonong duduk sebelah Jaya, ngeluarin botol minum yang isinya entah teh, kopi, atau minyak goreng bekas—karena warnanya coklat keruh banget.
“Yo, Bro. Aku Tegar. Bojonegoro asli. Kelas Arsitektur juga?”
“Iyo, aku Jaya. Sidoarjo,” jawab Jaya sambil senyum.
“Kita senasib. Sama-sama pengen jadi arsitek, padahal belum tentu tahan begadang seminggu berturut-turut.”
Jaya ketawa. “Ngomong-ngomong, ini kelas pertama ya?”
“Yoi. Katanya dosennya killer, tapi juga paling top se-Fakultas Teknik. Pak Gunawan. Kabarnya dulu kerja di proyek bandara internasional, tapi milih balik ngajar karena katanya ‘lebih puas ngeliat anak muda gagal lalu bangkit.’ Serem kan?”
Tak lama, Pak Gunawan masuk. Langkahnya pelan, tapi tiap injakan seolah berat dengan pengalaman hidup. Pria berumur 50-an, berkacamata minus tebal, pakai batik coklat tua dan celana bahan, masuk sambil bawa roll tas gambar.
“Selamat pagi,” katanya datar. “Saya Gunawan. Mulai hari ini, kalian adalah calon arsitek, bukan anak-anak SMA lagi. Dan saya bukan wali kelas kalian. Saya pengantar realitas.”
Sekelas langsung hening. Beberapa saling lirik. Jaya duduk tegak. Tegar langsung buka catatan, meskipun cuma buat nulis "pakai baju batik = serius."
Pak Gunawan langsung coret papan tulis dengan spidol hitam, menggambar segitiga besar.
“Ini dasar dari struktur bangunan: segitiga. Kenapa bukan kotak? Karena segitiga stabil. Kalo kalian bikin atap pake struktur segitiga—namanya truss—maka beban akan tersebar ke titik-titik tumpu. Lebih ringan, efisien, kuat. Gak kayak cinta segitiga yang bikin ambyar.”
Beberapa mahasiswa ketawa. Tegar nyeletuk pelan ke Jaya, “Ternyata Pak Gun juga bisa nge-jokes…”
Tapi Pak Gunawan gak senyum. Dia cuma menatap satu-satu mahasiswa di depannya.
“Kalian semua datang ke sini bawa harapan. Tapi saya kasih tahu sejak awal: 30 persen dari kalian gak akan sampai ke semester lima. Bukan karena gak pintar. Tapi karena gak tahan.”
Jaya menelan ludah. Tegar langsung nutup botol minumnya. Seorang cewek di baris depan kelihatan nahan napas.
“Arsitektur bukan cuma gambar. Bukan cuma seni. Ini ilmu teknis. Kalian akan belajar beban, torsi, material, pencahayaan, drainase, ergonomi, peraturan zonasi, dan yah, kadang juga soal klien yang pengen rumah Eropa tapi budget-nya rumah subsidi.”
Sekelas ngakak, termasuk Jaya. Tegar nyeletuk, “Kayak mantan pacarku: pengennya hubungan kayak film Korea, tapi gak pernah ngajak ngobrol…”
Setelah dua jam kuliah, kelas bubar. Tapi sebelum keluar, Pak Gunawan ngasih tugas pertama: bawa alat gambar lengkap dan bikin sketsa tangan bentuk bangunan rumah panggung tradisional.
“Pak, di mana referensinya?” tanya salah satu mahasiswa.
“Google. Perpustakaan. Tanya kakekmu. Saya mau lihat cara kalian mengamati, bukan cara kalian menyontek.”
Di luar kelas, koridor lantai tiga makin panas. Jaya dan Tegar jalan bareng ke kantin bawah sambil diskusi soal tugas. Tapi baru lima langkah, suara cewek teriak dari ujung lorong bikin Tegar langsung pucet.
“WOI, TEGAR!!!”
Jaya kaget. Dari arah kiri, muncul cewek bertubuh mungil, rambut merah marun di ujung, pakai sepatu docmart, dan tatapan kayak siap nyiduk maling.
“Waduh bro, itu mantanku. Si Vina,” bisik Tegar. “Kalau dia ngamuk, suara bisa pecahin genteng.”
Cewek itu langsung nyamperin dan nyubit lengan Tegar.
“Balikin hoodie-ku, dasar cowok sok cool! Jangan pikir karena kamu gondrong jadi bisa ngilang seenaknya!”
Jaya berdiri diam, nahan ketawa. Vina lalu melirik ke Jaya, senyum singkat, lalu pergi begitu aja sambil ngedumel.
“Bro, kampus arsitektur ini gak main-main. Belum sehari aja, aku udah ngerasa kayak di sinetron,” ujar Jaya sambil geleng-geleng.
Tegar ketawa. “Dan ini baru awal, Bro. Besok katanya mulai pelajaran Struktur Dasar Bangunan. Siap-siap ketemu istilah kayak momen lentur, gaya geser, dan modulus elastisitas. Apapun itu.”
Jaya ngangguk pelan. Dalam hati, dia tahu, hidupnya mulai berubah. Di lantai tiga itu, bukan cuma panas yang nempel di kulit. Tapi juga beban baru—dan petualangan yang belum pernah dia alami sebelumnya.
(Bersambung ke Bagian 2...)
No comments:
Post a Comment