Suplai bahan konstruksi. Desain, bangun, edukasi

Goresan Pertama dan Runtuhnya Mitos - Cerbung

Cerita Bersambung: Jaya Kusuma Anak Arsitek
Bagian 2: Goresan Pertama dan Runtuhnya Mitos

Pagi hari kedua di Kampus UNSURA, Jaya Kusuma datang lebih pagi. Setengah tujuh dia sudah nongkrong di taman depan gedung C, dengan sketchbook terbuka dan pensil HB yang dibelikan ibunya khusus dari toko alat gambar di Delta Plaza. Bukan karena rajin, tapi semalam dia mimpi dosen menggambar struktur baja pakai darah mahasiswa.

Tegar nyusul setengah jam kemudian. Wajahnya masih bantal, rambut belum disisir, hoodie masih yang kemarin.

“Bro, seriusan kamu dateng jam segini? Niat banget,” katanya sambil duduk di sebelah Jaya.

“Daripada kesiangan, kena semprot lagi. Aku tadi malem sampe nonton video tutorial gambar rumah panggung lima biji. Pake subtitle Inggris semua. Ternyata... rumah adat itu ribet, men.”

“Kita ngira masuk Arsitektur itu bakal stylish, elegan, gambar sambil dengerin musik. Ternyata... jadi anak Teknik juga,” keluh Tegar.

Belum sempat mereka lanjutin obrolan, bel masuk berbunyi. Kelas pagi ini: Struktur Dasar Bangunan, masih bersama Pak Gunawan. Tapi hari ini, ada kejutan.


Ruangan A-305 lebih besar dari kelas kemarin, dan kali ini, ada meja gambar lipat lengkap dengan drawing board, penggaris T, set square, dan tumpukan kertas kalkir. Sebagian mahasiswa tampak kagok. Mereka kira bakal belajar lewat slide proyektor atau video animasi. Ternyata yang dihadapi adalah suasana studio gambar tahun 90-an.

Pak Gunawan masuk, kali ini membawa gulungan kertas besar yang diselipkan di tabung plastik. Ia letakkan di depan, lalu membukanya perlahan. Gambar teknik rumah kayu tampak terbentang lebar.

“Kalian lihat ini?” katanya sambil menunjuk gambar detail sambungan balok.

“Ini adalah detail sambungan konstruksi kayu. Salah satu fondasi arsitektur tradisional Nusantara. Hari ini, saya tidak akan banyak bicara. Saya ingin kalian belajar lewat tangan. Goresan-goresan kalian hari ini, akan saya nilai bukan dari hasil akhirnya, tapi dari prosesnya.”

Jaya mulai menajamkan pensilnya. Tegar malah bingung sendiri cari penggaris segitiga, karena yang dia bawa malah penggaris keliling.


Satu jam berlalu. Di meja masing-masing, mahasiswa sibuk menggambar struktur tiang utama, kolom panggung, dan sistem lantai panggung yang ditopang balok memanjang dan balok melintang. Jaya serius betul, lidahnya menjulur sedikit tiap kali garisnya harus lurus. Sesekali, dia melirik ke kertas Tegar yang isinya… lebih banyak penghapus daripada goresan pensil.

“Gimana, bro?” tanya Jaya sambil senyum.

“Bro… aku ngerasa lebih cocok jadi arsitek hati, bukan bangunan. Ini garisku kok makin lama makin ngambang. Bukan level, tapi levitating,” kata Tegar frustasi.

Tiba-tiba, pintu kelas diketuk. Seorang wanita muda masuk. Pakaian putih sederhana dengan celana bahan gelap, dan yang paling mencolok: kerudung panjang warna hijau gelap yang menjuntai sampai punggung. Wajahnya tenang, ekspresinya tegas. Di tangan, ia membawa clipboard.

“Permisi, saya Bu Ayu. Koordinator Lab Struktur Bangunan. Hari ini saya ingin kenalan dan mengamati progres kelas Arsitektur angkatan baru,” katanya, suaranya lembut tapi mantap.

Semua mahasiswa langsung tegak duduk. Tapi tidak dengan Tegar. Dia malah tergagap.

“Lho, itu kan... Vina!”

Vina—mantan Tegar, cewek yang kemarin ngamuk di koridor lantai tiga—ternyata bukan mahasiswa. Dia dosen muda baru. Sontak seisi kelas nyengir. Beberapa cewek bisik-bisik. Jaya menutup mulut, nahan ketawa yang hampir bocor.

Bu Ayu hanya melirik ke Tegar sekilas, tanpa ekspresi. “Mas Tegar. Saya tidak menyangka kita akan bertemu lagi. Hoodie-nya nanti bisa dibahas setelah kelas. Sekarang, mari kita fokus ke load-bearing structure,” ujarnya datar lalu berbalik memeriksa hasil sketsa mahasiswa satu per satu.

Tegar langsung nyaris tiarap.


Ketika giliran Jaya diperiksa, Bu Ayu berhenti cukup lama di mejanya. Ia menunduk, mengamati goresan demi goresan.

“Bagus. Kamu ngerti prinsip pembebanan vertikal. Sudut tiang-tiang ini juga stabil. Tapi di sini...” Ia menunjuk satu bagian. “Kamu belum kasih keterangan ukuran. Dalam dunia nyata, tanpa ukuran, tukang bisa salah potong balok kayu, dan itu bisa berarti bangunan ambruk.”

Jaya angguk pelan. “Baik, Bu. Akan saya perbaiki.”

“Namamu siapa?”

“Jaya Kusuma, Bu.”

“Oh. Kelahiran Sidoarjo?”

Jaya kaget. “Iya, Bu… Kok Bu Ayu tahu?”

Bu Ayu hanya senyum tipis. “Saya hafal data mahasiswa baru. Kebetulan kamu cukup menonjol.”

Tegar di sebelah langsung cengengesan. “Wih, bro. Jaya naik kelas langsung dilirik Bu Dosen!”

Bu Ayu menoleh cepat. “Mas Tegar, fokus. Bukan waktunya bikin sketsa drama.”

Sekelas ketawa. Tegar langsung manyun sambil coret-coret ulang garis kolomnya.


Tepat jam sepuluh, Pak Gunawan menutup kelas dengan satu pengumuman.

“Besok kita akan mulai proyek kelompok pertama. Tugasnya: Rancang struktur shelter darurat pasca-bencana. Kalian akan dibagi jadi kelompok berempat. Gunakan prinsip struktur modular, pilih bahan yang ringan dan kuat. Kriteria: cepat dibangun, tahan gempa, dan efisien secara biaya.”

“Bahan yang direkomendasikan?”

“Bisa bambu, baja ringan, atau kombinasi beton pracetak. Bebas eksplorasi. Tapi ingat, bukan cuma bentuk. Saya ingin solusi.”


Di kantin, Jaya, Tegar, dan dua teman baru—Rani dan Ical—sudah ngumpul satu meja, karena mereka ditunjuk Pak Gun sebagai satu kelompok. Rani anak Bekasi, cerewet, rambut dikuncir dua. Ical orang Madura, kalem, tapi kalau ngomong soal bangunan, langsung nyala kayak mode turbo.

“Gue punya ide,” kata Rani. “Shelter-nya kita buat dari struktur rangka baja ringan yang bisa dilipat. Kayak tenda, tapi lebih kokoh. Terus dindingnya pakai panel sandwich dari polyurethane. Gampang dibongkar pasang.”

“Wih, keren juga,” kata Ical. “Tapi kita harus hitung juga daya tahan angin dan potensi gempa. Kalau bisa, sambungan antar elemen pakai bolt bukan las. Supaya bisa disassemble.”

Tegar nyengir, “Bro, aku ngerti bahasamu cuma pas kamu ngomong 'tenda'. Sisanya... aku googling nanti ya.”

Jaya tertawa. Tapi diam-diam, dia merasa... semangat. Dia tidak menyangka, dunia arsitektur sehidup ini. Bukan cuma teori dan gambar. Tapi benar-benar bicara soal manusia. Tentang tempat tinggal, solusi, bahkan kepekaan sosial.

“Aku pikir arsitektur itu soal bikin bangunan keren. Tapi ternyata lebih dari itu. Kita juga ditantang mikir soal kemanusiaan,” ujar Jaya sambil ngetik catatan.

“Yoi,” sahut Ical. “Arsitektur itu bukan soal ‘wah’, tapi soal ‘mengapa’. Kenapa bentuknya begini? Kenapa pakai bahan itu? Dan kenapa manusia bisa nyaman di dalamnya?”

Tegar terdiam. Lalu pelan-pelan berkata, “Bro... kayaknya aku jatuh cinta.”

“Dengan arsitektur?” tanya Jaya.

“Enggak, sama Bu Ayu…”

Rani langsung melempar tisu ke arah Tegar. “Mantanmu sendiri, dasar gagal move on!”


Sore hari, Jaya duduk sendirian di taman kampus. Sketchbook-nya terbuka. Dia menggambar garis demi garis, mencoba membuat konsep awal shelter darurat.

Di sudut halaman, dia menulis dengan huruf besar:
“Bentuk mengikuti fungsi, tapi jiwa mengikuti empati.”

Dan saat matahari mulai turun, satu pesan masuk ke HP-nya.

Dari nomor tak dikenal.

“Gambarmu tadi bagus. Saya tunggu hasil proyek kelompok kalian. –Ayu”

Jaya menatap layar cukup lama. Senyum tipis muncul di wajahnya.

Di lantai tiga kampus ini, mungkin bukan cuma struktur bangunan yang akan dia pelajari. Tapi juga struktur hati, struktur ambisi, dan mungkin… struktur rasa.

(Bersambung ke Bagian 3…)

Bagian 1 

No comments:

Post a Comment

-- |